Hakikat Orang yang Merugi, Pernahkah kita sebagai seorang hamba menghitung amal mulai dari awal
membuka mata saat bangun tidur hingga tertidur kembali? Jika pernah, maka dominan amal baik atau amal buruk?
Pertanyaan Hakikat Orang yang Merugi di atas merupakan cambuk untuk selalu mengingatkan kita terhadap setiap amal yang kita perbuat dalam satu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Pada tulisan beberapa waktu lalu tentang Berbisnis dengan Allah Swt., yang tidak pernah mengalami kerugian sesuai dengan Q.S Fathir: 29. Sekarang kita akan balik, bahwa suatu saat nanti kita akan merasa rugi dengan segudang amal yang pernah diperbuat di dunia.
Kok bisa?
Tidak satupun manusia yang ingin merugi, tetapi kelak di hadapan Allah Swt., posisi merugi akan dialami oleh manusia. 15 abad yang lalu, pernah suatu waktu Rasulullah Saw., sedang berkumpul dengan para sahabatnya:
Baca juga : Antusias, Siswa PG RA MIMHa PERMATA ILMU Field Trip ke LANUD Husein Sastra Negara Bandung


Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw., bersabda: “Tahukah kalian siapa orang yang merugi itu?, Jawab Sahabat: ‘Orang yang merugi menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta’”.
Nabi memberikan jawaban: “Sesungguhnya golongan umatku kelak akan datang pada hari kiamat dengan segudang pahala salat, shaum, dan zakat. Akan tetapi, dahulu mereka pernah mencaci maki orang lain, memfitnah orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah/ menyiksa orang lain, dan memukul orang lain. Lalu, diberilah kebaikan pahala kebaikan orang yang berbuat zalim tersebut kepada orang yang dizalimi dan pahala kebaikan orang yang berbuat zalim tersebut terus dibagikan kepada setiap orang yang dizalimi. Jika telah habis pahala kebaikannya sebelum seluruh hutangnya habis, maka diambillah seluruh dosa orang yang dizalimi tersebut dan dilimpahkan kepada orang yang berbuat zalim tersebut. Lalu kemudian orang yang berbuat zalim tersebut dilemparkan ke dalam neraka”.
(H.R. Muslim)
Rasulullah Saw., cukup mengejutkan para sahabat bahwa orang yang merugi itu justru orang yang banyak pahalanya, akan tetapi pahalanya tersebut dihabiskan untuk berbuat zalim kepada orang lain.
Nah, sahabat MIMHa yang dirahmati Allah Sw., sekali lagi ukuran kaya bukan karena banyak harta dan bukan pula ukuran miskin itu tidak memiliki harta. Tetapi ukurannya adalah seimbangkan antara setiap hablun minallah dan hablun minannaas.
Saat kita memiliki salah atau bermaksiat kepada Allah Swt., maka kita hanya diminta untuk bertaubat dan tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi jika kita memiliki kesalahan kepada orang yang ada di sekitaran, maka tidak cukup hanya meminta ampunan kepada Allah Swt., saja sehingga kita diharuskan menyelesaikan setiap permasalahan sehingga halal segala sesuatunya.
Wallahu’alam..
Wawan Setiawan
(Kepala Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda/MIMHa Ibtidaiyah)